"Hubungan bahagia dimulai saat kita memahami lebih dalam tentang diri kita."
Siapa yang tidak mau berada dalam pernikahan yang bahagia? Penelitian memperlihatkan bahwa pernikahan yang bahagia bisa meningkatkan kebahagiaan hidup secara umum. Bahkan kesehatan fisik orang yang bahagia dalam pernikahannya lebih baik dari orang yang tidak puas dengan pernikahannya.
Kenyataannya, membina pernikahan yang kokoh ternyata tidak mudah. Data dari Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung Republik Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata 1 dari 10 pasangan yang menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan. Bahkan angka perceraian di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Pasifik. Wow!


Lalu bagaimana cara membina pernikahan yang bahagia? Apakah perlu ketemu dulu dengan pangeran berkuda putih yang menyelamatkan kita dari naga? Atau putri cantik baik hati yang ternyata adalah pewaris tahta kerajaan? Ternyata, pernikahan yang bahagia sama sekali bukan sulap bukan sihir. Pernikahan yang bahagia, tidak dibangun dalam sekejap. Tidak seperti Cinderella dan pangeran yang baru bertemu sekejap, jatuh cinta, mengalahkan penyihir jahat, menikah, dan hidup bahagia sepanjang masa. Pernikahan yang bahagia bisa dipersiapkan. Persiapan ini bisa dimulai jauh sebelum pesta pernikahan direncanakan. Persiapan ini bisa kamu mulai sekarang juga.
Alexandra Solomon, seorang professor dan terapis keluarga yang mengajar mata kuliah persiapan pernikahan di Northwestern University menyatakan bahwa langkah pertama untuk memiliki hubungan yang baik (sehat dan bahagia) adalah: pemahaman tentang diri sendiri (self awereness). Pernyataan ini didukung berbagai hasil penelitian, antara lain Agha Mohammad dan kawan-kawan (2012) serta Tamaren (2011) yang memperlihatkan bahwa semakin seseorang mengenali keadaan emosinya maka semakin tinggi pula kepuasan hubungan yang ia rasakan.
Menurut para ahli, pemahaman tentang diri sendiri adalah keadaan dimana seseorang menyadari sifat, perasaan dan perilakunya. Pemahaman tentang diri sendiri juga mencakup menyadari kelemahan dan kekuatan diri, pikiran, keyakinan, motivasi dan emosi yang dirasakannya, serta pengetahuan tentang bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi penilaian, keputusan dan interaksi dengan orang lain. Untuk bisa paham tentang diri sendiri, dibutuhkan kemampuan untuk introspeksi.
Jadi, hubungan yang bahagia bukan dimulai saat kita bertemu pasangan yang tepat. Hubungan bahagia dimulai saat kita memahami lebih dalam tentang diri kita. Salah satu cara memahami sifat dan perilaku kita ialah dengan mempelajari tentang kepribadian. Kepribadian adalah pola sifat dan perilaku individu yang relatif menetap. Memahami kepribadian membuat kita lebih mudah memprediksi perilaku kita, serta dampak lingkungan terhadap emosi kita. Kalau kita bisa memprediksi perilaku kita sendiri, tentu kita bisa lebih siap mengantisipasi situasi. Sudah siap untuk mengenali kepribadianmu?
Untuk memudahkan studi tentang kepribadian, para ahli sepakat bahwa perbedaan kepribadian individu bisa dilihat dari lima faktor besar. Perlu diingat bahwa pembagian ini bukan untuk menilai baik atau buruknya seseorang. Masing-masing faktor, baik tinggi maupun rendah memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Lima faktor tersebut adalah:
Neuroticism

Neuroticism menggambarkan kecenderungan merasakan emosi yang negatif seperti kecemasan, depresi dan rasa marah. Orang dengan neuroticism tinggi terlihat dari kecenderungan mereka yang lekas cemas, sementara orang dengan neuroticism rendah cenderung tenang, santai dan memiliki emosi yang stabil. Kalau kamu sering merasa deg-degan yang intens sebelum ujian, kamu menunjukkan ciri neuroticism tinggi. Sementara, kalau kamu cenderung santai menghadapi peristiwa penting, seperti menyatakan perasaamu pada calon pacar, berarti neuroticism-mu cenderung rendah.

Extraversion

Extraversion menunjukkan kecenderungan seseorang memiliki aktivitas yang tinggi, sering mengalami emosi positif, impulsif, asertif dan cenderung terlibat dalam perilaku sosial. Orang dengan extraversion yang rendah atau sering disebut introvert memiliki kecenderungan pendiam, dan menarik diri dari situasi sosial. Orang yang introvert seringkali disamakan dengan pemalu, padahal mereka bukannya pemalu. Hanya saja, introvert lebih menyukai kondisi sendiri karena mereka cenderung peka, keramaian menjadi hal yang sangat intens bagi para introvert. Sementara orang dengan extraversion tinggi justru butuh lebih banyak stimulasi dari lingkungan. Makanya mereka senang tempat ramai dan aktifitas yang seru dan menantang.

Openness to Experience

Faktor ketiga menunjukkan kecenderungan terlibat dalam aktivitas intelektual serta pengalaman dan ide-ide baru. Faktor ini mencirikan kreativitas. Orang yang tinggi dalam faktor ini cenderung penuh angan-angan, imajinatif, penuh ide baru dan memiliki pikiran serta opini yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Sementara orang dengan openness to experience yang rendah cenderung konservatif, lebih menyukai pembicaraan yang konkrit praktis daripada ide-ide abstrak.

Agreeableness

Faktor keempat adalah Agreeableness atau Sociability. Faktor ini menunjukkan seberapa ramah, peduli dan rendah hati perilaku seseorang. Orang dengan agreeableness yang tinggi dilihat sebagai orang yang peduli, ramah, hangat, penuh toleransi dan suka menolong orang lain. Sementara orang dengan agreeableness rendah cenderung skeptis, tidak mudah percaya pada orang lain, dan kurang memikirkan perasan orang lain. Mereka cenderung keras kepala dan tidak segan menggunakan sarkasme untuk menekankan pendapatnya.

Conscientiousness

Faktor terakhir adalah Conscientiousness, yaitu perilaku yang menunjukkan tanggung jawab, proaktif dan penuh disiplin. Orang dengan conscientiousness tinggi terkenal efisien, teratur dan gigih mencapai tujuannya. Sementara orang dengan conscientiousness rendah cenderung santai, easygoing baik dalam bekerja maupun mengambil keputusan.
Kira-kira kamu termasuk tinggi, rendah, atau sedang dalam faktor-faktor di atas?
Untuk bisa menjawab pertanyaan itu, kamu perlu ambil waktu sejenak. Ingat-ingat lagi bagaimana kebiasanmu menghadapi situasi. Apakah kamu cenderung santai atau cemas menghadapi tugas yang berat? Apakah kamu lebih senang ngobrol berdua sahabat daripada pergi ke pesta yang sedang happening? Apakah kamu suka berkhayal daripada memikirkan hal-hal praktis? Bagaimana komentar teman-teman tentang kamu? Coba lihat meja kerja/meja belajarmu. Apakah tersusun rapi pada tempatnya, atau hanya kamu yang tahu dimana kamu menyimpan file-filemu?
Untuk bisa menjawab pertanyaan itu, kamu perlu ambil waktu sejenak. Ingat-ingat lagi bagaimana kebiasanmu menghadapi situasi. Apakah kamu cenderung santai atau cemas menghadapi tugas yang berat? Apakah kamu lebih senang ngobrol berdua sahabat daripada pergi ke pesta yang sedang happening? Apakah kamu suka berkhayal daripada memikirkan hal-hal praktis? Bagaimana komentar teman-teman tentang kamu? Coba lihat meja kerja/meja belajarmu. Apakah tersusun rapi pada tempatnya, atau hanya kamu yang tahu dimana kamu menyimpan file-filemu?
Kalau sudah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, berarti kamu sudah lebih kenal dengan dirimu. Langkah selanjutnya adalah menggunakan pengetahuan itu untuk memprediksi dan membuat antisipasi. Misalnya kamu sudah tahu bahwa kamu tinggi dalam neuroticism. Dalam situasi konflik dengan pacar, kamu mudah tersinggung dan marah. Nah, kalau sudah menyadari ini, berarti kamu bisa cari strategi mengelola emosi agar tidak terpancing emosi marah. Contoh lain, misalnya kamu memiliki openness to experience yang rendah, sehingga cepat bosan membicarakan hal abstrak, sementara pasanganmu memiliki openness to experience yang tinggi, sehingga sering sekali mengawang-awang kalau bicara. Hal ini membuat kalian jadi sering cekcok. Kalau kamu sudah menyadari bahwa kamu dan pasangan berbeda, maka lebih mudah mencari jalan tengah untuk menghindari konflik karena hal sepele.
Selamat berintrospeksi. Selamat mengawali langkah ke hubungan yang bahagia. ☺
Sumber yang dipakai:
Agha Mohammad, H.P., Mokhtaree M.R., Sayadi, A.R., Nazer, M., Mosavi, S.A. (2012). Study of Emotional Intelligence and Marital satisfaction in Academic Members of Rafsanjan University of Medical Sciences. Journal of Psychology and Psychotherapy. Vol. 2, No. 2. Retrieved from: http://www.omicsonline.org/2161-0487/2161-0487-2-106.php
BKKBN online. (2013). Angka Perceraian di Indonesia tertinggi di Asia Pasifik. Retrieved from: http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=967
Cherry, Kendra. (—-). What is Self Awareness?. Retrieved from: http://psychology.about.com/od/cognitivepsychology/fl/What-Is-Self-Awareness.htm
Chamorro-Premuzic, Tomas. (2012) Personality and Individual Differences. West Sussex: BPS Blackwell.
Gross-Loh, Christine. (2014). The first lesson of Marriage 101: There are No Soul Mates. Retrieved from: http://m.theatlantic.com/education/archive/2014/02/the-first-lesson-of-marriage-101-there-are-no-soul-mates/283712/
Larson, J. H., Holman, T. B. (1994). Premarital Predictors of Marital Quality and Stability. Family Relations Vol. 43 No. 2. Retrieved from: proquest.com
Nielsen, A.; Pinsof, W.; Rampage, C.; Solomon, A.H.; Goldstein, S. (2004) Marriage 101: An Integrated Academic and Experiential Undergraduate Marriage Education Course. Family Relations, Vol. 53 No. 5.
Tamaren, K. J. (2011). Factors of Emotional Intelligence Associated With Marital Satisfaction. Dissertation: Proquest. Retrieved from: http://udini.proquest.com/view/factors-of-emotional-intelligence-goid:305219636/
Weiner, I. B., Greene. R. L. (2008) Handbook of Personality Assessment. New Jersey: John Wiley & Sons Inc.
Sumber: Ruang Psikologi
0 comments:
Post a Comment