AJAK ANAK KENALI EMOSI MEREKA SEJAK DINI

Anak-anak adalah seorang petualang yang tekun. Secara teoritis, anak memang sedang memasuki tahap perkembangan di mana ia dituntut untuk mengembangkan inisiatifnya untuk mencoba hal-hal baru (Erikson, dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2007). Pada tahap ini, anak butuh dorongan dari orang dewasa di sekitarnya, baik orang tua, saudara, pengasuh ataupun guru, untuk mengembangkan kemauan dan kemampuannya bereksplorasi terhadap hal-hal baru dalam dunianya.
Salah satu hal baru yang mereka hadapi adalah ekspresi emosi. Mulai usia dua atau tiga tahun, anak berhadapan dengan beragam stimulus yang menghadirkan variasi emosi yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Misalnya Aji kesal karena diganggu saat bermain, Emil senang saat berjalan-jalan ke Taman Safari bersama Ayah dan Bunda, atau perasaan emosi lainnya, baik yang sederhana maupun yang kompleks.
Pola berpikir dan perbendaharaan kata yang terbatas membuat anak kadang kesulitan memahami pergolakan emosi yang terjadi dalam dirinya. Ika menangis menjerit-jerit ketika dititipkan di Tempat Penitipan Anak dan ditinggal Ibunya pergi bekerja. Ia pikir, ia pasti sudah sangat nakal sehingga Ibu pergi meninggalkan dia di sana. Kendati reaksi emosinya begitu kuat, Ika belum dapat mengkomunikasikan kesedihan dan ketakutannya secara jelas dan tepat. Karenanya, penting bagi anak untuk mendapat bimbingan dari orang dewasa dalam mengenali emosi mereka. Selain itu, anak juga perlu dibimbing dalam menyalurkan emosi mereka.
Untuk membantu anak mengenali emosi yang dirasakannya, Anda dapat melakukan aktivitas berikut:
  • Bertanya pada anak tentang apa yang dirasakannya saat mengalami berbagai macam kejadian dan bantu anak memberi “label” pada emosi yang dirasakannya
    Contoh:“Waktu Kakak kasih adik permen, apa yang adik rasain?”(Setelah anak menjawab, jelaskan juga padanya bahwa,) “itu namanya senang.”
  • Rangsang ia melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang dapat merangsang emosi, dan kembali tanya apa yang ia rasakan. Kadang, kita perlu menggunakan pola kalimat yang lebih to the point untuk membantu anak menambah kosakata emosinya.Contoh:“Main petak umpet yuk, dik!”(Setelah selesai bermain, tanyakan pada anak,) “Senang tidak main petak umpet?”
  • Bermain “tebak-tebak emosi” dengan: bersama-sama membaca buku atau menonton kartun dan kemudian bertanya pada anak apa yang sedang dialami tokoh tersebut, apakah ia sedih, marah, senang, atau bahagiaContoh:“Lihat! Mickey-nya nangis. Kenapa ya?”
  • Terlibatlah dalam permainan anak dan berbagi refleksi perasaan dengan anakContoh:“Wah, seru. Ayah senang nih bisa main sama adik. Senang lihat adik ketawa terus.”
Selain dibantu untuk mengenali emosinya, penting bagi anak untuk mendapat bimbingan dari lingkungannya untuk mengendalikan emosinya. Kita sebaiknya membuat pemahaman pada anak mengenai bentuk-bentuk ekspresi emosi yang dinilai tepat dan sesuai. Misalnya, saat menghadapi Ipin yang mencubit adiknya karena kesal mainannya direbut oleh sang adik, kita dapat mencoba menenangkan Ipin dan memberikan penjelasan, “Ibu tahu Ipin kesal karena mainannya direbut adik. Tapi tidak perlu mencubit. Sakit kalau dicubit. Ipin bisa minta baik-baik sama adik ya.”
Penting bagi orang dewasa untuk tidak menyalahkan anak atas perasaan atau emosi yang dimilikinya. Kita dapat mencoba lebih memahami perasaan-perasaan yang dialami anak dan menunjukkan empati terhadap emosi yang dirasakan anak sekaligus memberikan arahan bagi anak untuk dapat mengekspresikan emosinya secara sesuai.
Sumber yang dipakai:
Martin, Carole A., dan Karen K Colbert. (1997). Parenting : A Life Span Perspective. New York : McGraw-Hill Companies, Inc.
Papalia, Diane E., Sally Wendkos Olds, dan Ruth Duskin Feldman. (2007). Human Development Tenth Edition. New York : McGraw-Hill Companies, Inc.
Sumber: Ruang Psikologi

0 comments:

Post a Comment

© Copyright 2011 Personal Blog Template design by sarju
Powered by Blogger.